Welcome to my blog...^^

Welcome to my blog...^^

Senin, 29 Oktober 2012

Hujan, Sudikah Singgah Sebentar?

 

Es teh manis berbaju gelas jenjang membuka perjumpaan dua insan kasmaran. Kursi kayu dan sore syahdu. Matahari yang tidak lagi tampak dan bulan bintang yang belum juga kerjap serempak. Tegukan pertama menandai panjang pandang yang tak hanya selayang ketika yang satu berucap kepada yang lain, “Hujan akan datang.”
Barangkali itulah hujan yang paling dia harapkan. Barangkali itulah hujan yang akan menyelamatkan. Hujan yang akan menahan kekasihnya berada bersamanya di sebuah pojok unik di tengah kota. Sebuah tempat yang menawarkan keintiman seperti sedang berada di ruang tamu milik sendiri. Benar saja, di sana seperti hanya dia dan kekasihnya, ia. Lalu di mana orang lain? Mereka kurang lebih sama dengan meja-kursi kayu, gelas jenjang, bantal oranye dan dinding putih. Karena sore itu hanya milik dia dan ia, perempuan lelaki yang sedang lahap menyantap “jelang malam minggu” pertama dan terakhir mereka, sebelum esok si ia harus kembali ke ibu kota menjadi kuli tinta.

Sore itu, bagi dia, kekasihnya hanyalah kuli cinta, bukan kuli tinta. Tak dibiarkannya ia melanjutkan tugas peliputan di sebuah gedung kebudayaan di kota budaya itu. Dia hanya ingin kekasihnya bekerja untuk cinta mereka yang baru saja dilembagakan empat hari sebelumnya. Bukan rayu yang dia tahu akan menahan kekasihnya, bukan juga cumbu, tapi hujan, hujan yang menjelma belenggu paling ditunggu. Mendung sudah memberi tanda, namun gerimis belum menghantarkan sebuah kepastian. Dia sesekali menatap ke luar jendela, sambil berdoa supaya yang ditunggu segera datang. Gundah. Gelisah. Resah kalau-kalau hujan tak jadi datang dan akan segera mengantar kekasihnya melanglang.
Saling bertukar cerita, keduanya saling bercinta. Lewat ucap, lewat dekap, lewat kecup sekejap, tak jarang hanya dengan saling menatap. Sesekali dia ikut menyeruput semanis es teh milik kekasihnya dan meninggalkan sejumput bentuk bibir pada bibir gelas jenjang itu. Hingga terkejut mereka saat satu dari orang lain─yang tadinya kurang lebih sama dengan meja-kursi kayu, gelas jenjang, bantal oranye dan dinding putih─menyalakan lampu kekuningan di ruang di mana mereka berada. Ternyata, gelap sudah tak lagi lelap.    
Seperti cinta, hujan gemar datang tiba-tiba. Dengan derasnya, seperti tak ingat bahwa sebelumnya ia datang malu-malu seperti rindu. Bersama awan yang kedinginan, yang saling berpeluk satu dengan yang lain, membentuk payung bagi mereka yang tak berpunya. Bersama bulan bintang setengah matang, yang saling berkait satu dengan yang lain, merakit lentera bagi mereka yang tak berada. Gelas kedua menandai panjang pandang yang tak hanya selayang ketika yang satu berucap kepada yang lain, “hujan sudah datang.”
Dia memandang senang ke luar jendela karena yang dinantinya sudah datang. Sembari menghirup perkawinan air dan tanah yang melahirkan aroma romantis, berdua mereka melanjut cakap dan merajut ungkap. Tentang dia, tentang ia, tentang mereka. Tentang cinta, tentang cerita, tentang realita. Tak pernah kehabisan kata, tak pernah kelelahan bicara, sampai pada suatu detik yang mereka punya hanyalah…. Ah, mereka tak punya apa-apa. Mereka hanya saling berdansa. Lewat bibir mereka berbahasa.
Mata seperti membuta. Mulut seperti bertelut. Telinga tiada menganga. Mereka sekarang sama dengan meja-kursi kayu, gelas jenjang, bantal oranye, dan dinding putih. Sama-sama bisu. Mereka tiada berbeda dengan orang di sudut-sudut lain di tempat itu. Sama-sama gagu. Namun mereka berbeda dengan hujan. Mereka tidak sedang bersedu sedan.
Di luar, rinai hujan tengah menyenandungkan lagu-lagu kesayangan. Suaranya riuh di kejauhan namun lirih di perasaan. Seperti sedang berkejaran, derap kaki hujan terdengar seperti telanjang─tanpa sepatu. Bergaul dengan genangan air yang terlebih dahulu lahir, hujan berbiak basahi apa yang mendekat lalu membentuk riak. Hampir pasti, tidak sekedar barangkali, itulah hujan yang paling dia harapkan. Itulah hujan yang telah menyelamatkan. Hujan yang menahan kekasihnya berada bersamanya. Hingga malam menjadi kenyataan, dan perpisahan adalah keterpaksaan.
Detak detik jam telah sampai pada angka tujuh. Saat hujan mulai menepi  kepayahan, saat kaki yang telanjang mulai gigil dan membiru. Dua insan kasmaran tak punya daya jika hujan tak lagi sudi berbagi waktu. Hujan sesungguhnya belum sepenuhnya undur diri, namun mereka tak kuasa mengakhiri, perjumpaan petang hari. Tak seorang pun ingin beranjak, mereka hanya ingin menetapkan jejak dan terus berpijak. Pada peluk yang esok harus mereka lepaskan. Pada rindu yang esok harus mereka relakan.                 
”Masih hujan. Apakah kau punya payung untukku?” dia bertanya.
“Aku tak punya payung untukmu tapi setidaknya kita di bawah hujan yang sama,” begitulah ia menjawab. Lalu, berjalanlah mereka berdua di bawah hujan yang sama, dan saling berteduh di hati kekasihnya.
Potongan cerita itu lalu lalang sebagai adegan saat aku merindukan ia. Akulah dia.  Dan ia, mantan kekasihku.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar